Kamis, 19 Agustus 2010

TUMBANGNYA TEORI DARWIN

KEPALSUAN TEORI EVOLUSI
Setiap bagian di alam semesta ini menunjukkan adanya penciptaan yang luar biasa.
Sebaliknya, faham materialisme, yang berusaha menolak fakta tentang penciptaan alam semesta,
tidak lain hanyalah merupakan faham palsu yang tidak ilmiah.
Jika faham materialisme telah tumbang, maka semua faham lainnya yang berdasarkan pada
filsafat ini juga tidak memiliki landasan. Hampir semua penganut faham ini adalah penganut
Darwinisme, yakni teori evolusi. Teori ini, yang berpendirian bahwa kehidupan berasal dari benda
mati, yang terjadi secara kebetulan, telah ditumbangkan oleh kenyataan bahwa alam semesta ini
diciptakan oleh Allah. Ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross, menyatakan sebagai berikut:
Atheisme, Darwinisme, dan pada dasarnya semua “isme” yang muncul dari filsafat abad
kedelapan belas hingga abad kedua puluh, yang dibangun berdasarkan asumsi, yakni asumsi yang
tidak benar, bahwa alam semesta ini tak terbatas. Keajaiban alam semesta telah membawa kita
berhadapan dengan sebab atau penyebab utama di balik/ di belakang/ di hadapan alam semesta dan
semua isinya, termasuk kehidupan itu sendiri.1
Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan Yang merancangnya hingga ke bagianbagiannya
yang terkecil. Dengan demikian teori evolusi yang menyatakan bahwa makhluk hidup itu
tidak diciptakan oleh Allah, tetapi terjadi secara kebetulan, adalah teori yang sama sekali tidak
benar.
Tidak heran jika kita memperhatikan teori evolusi, maka kita akan melihat bahwa teori ini
dikecam oleh penemuan ilmiah. Rancangan kehidupan ini sangatlah kompleks dan menakjubkan. Di
dunia makhluk tak bernyawa misalnya, kita dapat melihat betapa luar biasanya keseimbangan pada
atom-atom. Belum lagi pada dunia makhluk bernyawa, kita dapat melihat betapa kompleksnya rancangan
dari kumpulan atom, dan betapa luar biasanya cara kerja dan struktur seperti protein, enzim,
dan sel, yang diciptakan di dalamnya.
Rancangan yang luar biasa dalam kehidupan ini menumbangkan Darwinisme pada akhir abad
kedua puluh.
Kita telah membicarakan dengan sangat detail masalah ini dalam beberapa kajian kami
lainnya, dan kami akan terus melakukannya. Namun mengingat pentingnya persoalan ini, tentunya
akan bermanfaat jika pada kesempatan ini diketengahkan ringkasannya.
Ilmu Pengetahuan Menumbangkan Darwinisme
Meskipun doktrin ini berasal dari zaman Yunani kuno, teori evolusi dikembangkan secara luas
pada abad ke-19. Perkembangan terpenting yang menjadikan teori ini menjadi topik terbesar dalam
dunia sains adalah buku karya Charles Darwin yang berjudul The Origin of Species, yang diterbitkan
pada tahun 1859. Dalam buku ini, Darwin menolak bahwa berbagai spesies yang hidup di bumi,
masing-masing diciptakan oleh Tuhan. Menurut Darwin, semua makhluk hidup memiliki nenek
moyang yang sama dan makhluk-makhluk tersebut kemudian menjadi beraneka ragam dengan
berjalannya waktu melalui perubahan-perubahan kecil.
Teori Darwin tidak berdasarkan pada pembuktian ilmiah yang kongkret; sebagaimana yang
diakuinya sendiri, tetapi hanya berupa “asumsi”. Tambahan pula, sebagaimana pengakuan Darwin
dalam bab panjang dari bukunya yang berudul Difficulties of the Theory, teori tersebut tidak mampu
menghadapi berbagai pertanyaan penting.
Darwin menumpukan semua harapannya pada penemuan-penemuan ilmiah baru, yang ia
harapkan dapat memberikan pemecahan atas Difficulties of the Theory. Namun, berlawanan dengan
harapannya, pembuktian ilmiah justru semakin memperluas dimensi dari kesulitan-kesulitan ini.
Kekalahan Darwinisme atas ilmu pengetahuan dapat disimpulkan menjadi tiga topik dasar:
1) Teori tersebut sama sekali tidak menjelaskan tentang bagaimana asal mula kehidupan di
bumi.
2) Tidak ada pembuktian ilmiah yang menunjukkan bahwa “mekanisme evolusioner” yang
diajukan dalam teori tersebut memiliki kekuatan untuk berkembang.
3) Apa yang dikemukakan dalam teori evolusi tersebut sama sekali bertolak belakang dengan
Catatan fosil.
Dalam bagian ini, kita akan mengkaji tiga poin dasar tersebut secara garis besar:
Langkah Pertama yang Tidak Dapat Diatasi:
Asal-usul Kehidupan
Teori evolusi berpendirian bahwa semua spesies hidup berasal dari satu sel hidup tunggal
yang muncul di bumi 3.8 milyar tahun yang lalu. Bagaimanakah sebuah sel tunggal dapat
menghasilkan jutaan spesies hidup yang kompleks, dan jika evolusi semacam itu benar-benar terjadi,
mengapa jejak-jejaknya tidak dapat dilihat pada catatan fosil, itu merupakan pertanyaan-pertanyaan
yang tidak dapat dijawab oleh teori evolusi. Namun, yang pertama dan utama, dari langkah pertama
yang dinyatakan oleh proses evolusioner tersebut muncul pertanyaan: Bagaimanakah asal mula
terjadinya “sel pertama” tersebut?
Karena teori evolusi menolak penciptaan dan tidak menerima campur tangan supernatural
dalam bentuk apa pun, maka ia berpendirian bahwa “sel pertama”muncul secara kebetulan
berdasarkan hukum alam, tanpa ada rancangan atau perencanaan. Menurut teori ini, materi tak
bernyawa menghasilkan sel bernyawa sebagai akibat dari munculnya sel pertama secara kebetulan
tersebut. Namun, pernyataan ini bahkan tidak sesuai dengan hukum biologi yang paling tidak terbantahkan.
Kehidupan Berasal dari Kehidupan
Dalam bukunya, Darwin tidak pernah menyebut asal-usul kehidupan. Pemahaman kuno
tentang ilmu pengetahuan pada zamannya berangkat dari asumsi bahwa makhluk hidup memiliki
struktur yang sangat sederhana. Semenjak zaman pertengahan, generasi spontan, yakni teori yang
menyatakan bahwa materi tak bernyawa muncul untuk membentuk organisme hidup diterima secara
luas. Pada umumnya diyakini bahwa serangga terjadi dari sisa-sisa makanan, dan tikus berasal dari
gandum. Berbagai eksperimen yang menarik dilakukan untuk membuktikan teori ini. Beberapa
gandum diletakkan pada sebidang kain kotor, kemudian diyakini bahwa setelah beberapa saat tikus
akan muncul darinya.
Demikian pula, ulat yang muncul dalam daging dianggap sebagai bukti dari teori tentang
generasi spontan. Namun, tidak lama kemudian diketahuilah bahwa ulat tidak muncul dari daging
secara spontan, tetapi dibawa oleh lalat dalam bentuk larva, yang tidak dapat dilihat dengan mata
telanjang.
Bahkan pada periode ketika Darwin menulis The Origin of Species, keyakinan bahwa bakteri
dapat terwujud dari materi tak bernyawa diterima secara luas dalam dunia ilmu pengetahuan.
Namun, lima tahun setelah buku Darwin diterbitkan, penemuan Louis Pasteur mematahkan
keyakinan ini, yang merupakan landasan evolusi. Setelah melakukan penelitian dan eksperimen yang
melelahkan, Pasteur menyimpulkan secara ringkas, “Pernyataan bahwa materi tak bernyawa dapat
memunculkan kehidupan telah dikubur dalam sejarah untuk selamanya.”2
Para pendukung teori evolusi menolak penemuan Pasteur dalam waktu yang lama. Namun,
ketika perkembangan ilmu pengetahuan berhasil menjelaskan tentang struktur sel dari makhluk
hidup yang kompleks, gagasan bahwa kehidupan dapat muncul secara kebetulan bahkan semakin
menghadapi kebuntuan yang lebih besar.
Usaha-usaha yang Tidak Pernah Menghasilkan
Kesimpulan pada Abad Ke-20
Ahli evolusi pertama yang menggeluti masalah asal-usul kehidupan pada abad ke-20 adalah
ahli biologi Rusia terkenal, Alexander Oparin. Dengan berbagai tesisnya yang ia ajukan pada tahun
1930-an, ia berusaha membuktikan bahwa sel dari sebuah makhluk hidup dapat terjadi secara
kebetulan. Namun, penelitian ini ternyata mengalami kegagalan, dan Oparin harus membuat
pengakuan sebagai berikut:
Sayang, asal-usul sel tetap menjadi tanda tanya, yang sesungguhnya merupakan titik paling
gelap dari seluruh teori evolusi.3
Para penganut teori evolusi Oparin berusaha untuk meneruskan eksperimen untuk memecahkan
masalah asal-usul kehidupan. Yang paling terkenal di antara eksperimen-eksperimen ini
dilakukan oleh ahli kimia Amerika, Stanley Miller pada tahun 1953. Dalam permulaan
eksperimennya, ia menyatakan bahwa gabungan gas telah ada pada atmosfer bumi pada zaman kuno,
dan dengan menambahkan energi pada campurannya, Miller mensitesakan beberapa molekul organik
(asam amino) yang ada dalam struktur protein.
Beberapa tahun berlalu, eksperimen tersebut tidak berhasil mengungkapkan apa pun, yang
pada saat itu dilakukan sebagai langkah penting atas nama evolusi, terbukti tidak valid, sedangkan
atmosfer yang digunakan dalam eksperimen tersebut sangat berbeda dengan kondisi bumi yang
sesungguhnya.4
Setelah diam dalam jangka waktu yang lama, Miller mengakui bahwa medium atmosfer yang
ia gunakan tidaklah realistik.5
Semua usaha ahli evolusi yang dilakukan pada abad ke-20 untuk menjelaskan asal-usul
kehidupan berakhir dengan kegagalan. Ahli geokimia Jeffrey Bada dari San Diego Scripps Institute,
mengakui kenyataan ini dalam sebuah artikel yang dipublikasikan dalam majalah Earth pada tahun
1998:
Dewasa ini, ketika kita meninggalkan abad kedua puluh, kita masih menghadapi persoalan
sangat besar yang belum terpecahkan yang harus kita hadapi ketika kita memasuki abad kedua
puluh: Bagaimanakah asal-usul kehidupan di Bumi ini?6
Struktur Kehidupan yang Kompleks
Alasan utama mengapa teori evolusi berakhir dalam kebuntuan besar tentang asal-usul
kehidupan adalah bahwa organisme hidup yang dianggap sangat sederhana ternyata memiliki
struktur yang sangat kompleks. Sel dari makhluk hidup lebih kompleks dibandingkan dengan semua
produk teknologi yang dihasilkan oleh manusia. Dewasa ini, bahkan dalam laboratorium yang paling
maju di seluruh dunia sekalipun, sebuah sel hidup tidak dapat dihasilkan dari materi inorganik.
Persyaratan yang diperlukan bagi terbentuknya sebuah sel terlalu besar kuantitasnya untuk
diabaikan dengan berpegang pada landasan bahwa terbentuknya sel tersebut terjadi secara kebetulan.
Probabilitas tentang protein, perkembangan blok dalam sel, disentesakan secara kebetulan adalah 1
dalam 10950 untuk rata-rata protein yang terdiri dari 500 asam amino. Dalam matematika, suatu
probabilitas yang lebih kecil dari 1 dibanding 1050 dengan sendirinya dianggap tidak mungkin.
Molekul DNA yang terletak di inti sel dan yang menyimpan informasi genetik merupakan
bank data yang luar biasa. Jika informasi yang ada dalam DNA ditulis, maka ia akan merupakan
perpustakaan raksasa yang terdiri dari 900 jilid ensiklopedi yang masing-masing terdiri dari 500
halaman.
Dalam masalah ini muncul dilema yang sangat menarik: DNA hanya dapat direplikasi dengan
bantuan protein-protein khusus (enzim). Namun, sintesa dari enzim-enzim ini hanya dapat
diwujudkan melalui informasi yang tercatat dalam DNA. Karena keduanya saling tergantung,
mereka harus ada pada waktu yang bersamaan untuk replikasi. Hal ini menunjukkan bahwa
pernyataan yang menyatakan bahwa kehidupan itu berasal dari dirinya sendiri mengalami
kebuntuan. Prof. Leslie Orgel, seorang ahli evolusi ternama dari Universitas San Diego, Kalifornia,
mengakui fakta ini di majalah Scientific American yang diterbitkan pada September 1994:
Sangat mustahil bahwa protein dan asam, yang keduanya sama-sama memiliki struktur yang
kompleks, muncul dengan sendirinya pada waktu dan tempat yang sama. Namun juga mustahil jika
yang satu ada tanpa adanya yang lain. Demikian pula, secara sekilas orang dapat menyimpulkan
bahwa sesungguhnya kehidupan tidak mungkin berasal dari sarana kimiawi.7
Mekanisme Evolusi Imajiner
Persoalan penting kedua yang menafikan teori Darwin adalah bahwa kedua konsep yang
dikemukakan oleh teori tersebut sebagai “mekanisme evolusioner” pada dasarnya tidak memiliki
kekuatan evolusioner.
Darwin mendasarkan pernyataan evolusinya sepenuhnya pada mekanisme “seleksi alam”.
Pernyataan yang ia tekankan tentang mekanisme ini dapat dilihat dalam bukunya: The Origin of
Species, By Means of Natural Selection…
Seleksi alam berpendirian bahwa makhluk-makhluk hidup yang lebih kuat dan lebih cocok
bagi kondisi alam pada habitat mereka akan dapat bertahan dalam bergulat untuk mempertahankan
kehidupan. Sebagai contoh, pada kawanan rusa yang menghadapi ancaman serangan binatang buas,
maka rusa-rusa yang berlarinya lebih cepat dapat mempertahankan kehidupannya. Dengan demikian,
kawanan rusa itu terdiri dari individu-individu yang lebih cepat dan lebih kuat. Namun tak dapat
disangkal bahwa mekanisme ini tidak menyebabkan rusa tersebut muncul dan berubah menjadi
spesies hidup yang lain, misalnya menjadi kuda.
Dengan demikian, mekanisme seleksi alam tidak memiliki kekuatan evolusioner. Darwin juga
menyadari fakta ini sehingga ia harus menyatakan dalam bukunya The Origin of Species:
Seleksi alam tidak dapat berbuat apa pun hingga terjadi peluang variasi yang sesuai.8
Pengaruh Lamarck
Lalu, bagaimanakah “variasi yang sesuai” ini terjadi? Darwin berusaha untuk menjawab
pertanyaan ini dari sudut pandang pemahaman ilmu pengetahuan kuno pada zamannya. Menurut ahli
biologi Prancis, Lamarck, yang hidup sebelum Darwin, makhluk hidup memiliki karakter yang
dibutuhkan selama jangka hidupnya hingga generasi selanjutnya, dan karakter ini berakumulasi dari
satu generasi ke generasi seterusnya sehingga menyebabkan terbentuknya spesies baru. Misalnya,
menurut Lamarck, jerapah terjadi dari kijang, karena kijang-kijang itu berjuang untuk makan daun
dari pohon yang tinggi, sehingga lehernya memanjang dari generasi ke generasi.
Darwin juga memberikan contoh serupa dalam bukunya, The Origin of Species, misalnya, ia
berkata bahwa sebagian beruang ada yang menyelam ke air untuk mencari makanan sehingga
berubah menjadi ikan paus setelah beberapa lama.9
Namun, hukum genetika yang ditemukan oleh Mendel dan dibuktikan oleh ilmu genetika
yang berkembang pada abad ke-20, menolak mentah-mentah anggapan yang mengatakan bahwa
karakter itu diteruskan kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian, seleksi alam bertentangan
dengan kenyataan seperti halnya mekanisme evolusioner.
Neo-Darwinisme dan Mutasi
Agar dapat menemukan pemecahan, para pengikut Darwin mengajukan “Teori Sintesa
Modern” atau lebih dikenal sebagai Neo-Darwinisme, pada akhir tahun 1930an. Neo-Darwinisme
menambahkan mutasi, yakni penyimpangan yang dimunculkan oleh gen-gen makhluk hidup karena
adanya faktor-faktor eksternal seperti radiasi atau kesalahan replikasi, sebagai “penyebab variasi
yang sesuai” di samping mutasi alam.
Dewasa ini, model yang mewakili evolusi di dunia adalah Neo-Darwinisme. Teori tersebut
berpendirian bahwa berjuta-juta makhluk hidup yang ada di bumi ini terjadi sebagai akibat dari suatu
proses di mana berbagai organ-organ kompleks dari beberapa organisme seperti telinga, mata, paruparu,
sayap, mengalami “mutasi”, yakni penyimpangan genetis. Namun terdapat fakta ilmiah yang
sama sekali bertentangan dengan teori ini: Mutasi tidak menyebabkan makhluk hidup berkembang,
sebaliknya mutasi menyebabkan kerusakan.
Adapun alasannya sangat sederhana: DNA memiliki struktur yang sangat kompleks, dan efek
kebetulan hanya dapat menyebabkan kerusakan baginya. Ahli genetika Amerika, B.G. Ranganathan,
menjelaskan hal ini sebagai berikut:
Mutasi itu kemungkinannya sangat kecil, kebetulan, dan merusak. Mutasi hampir-hampir
tidak terjadi dan kemungkinan besar tidak membawa pengaruh. Empat karakteristik mutasi ini
menunjukkan bahwa mutasi tidak menyebabkan terjadinya pekembangan evolusioner. Perubahan
yang terjadi secara kebetulan pada organisme yang sangat khusus tidak ada pengaruhnya dan tidak
merusak. Perubahan yang terjadi secara kebetulan pada sebuah arloji tidak dapat memperbaiki
arloji tersebut. Bahkan dapat merusak atau paling-paling tidak berpengaruh. Sebuah gempa bumi
tidak mungkin memperbaiki kota, tetapi ia menyebabkan kerusakan10
Dengan demikian tidak ada contoh mutasi yang bermanfaat, yakni yang dapat mengembangkan
aturan genetika yang pernah dilihat buktinya hingga saat ini. Semua mutasi terbukti bersifat
merusak. Maka perlu dipahami bahwa mutasi yang dinyatakan sebagai “mekanisme evolusioner”
sesungguhnya merupakan peristiwa genetik yang merusak makhluk hidup dan menimbulkan
gangguan. (Pengaruh mutasi yang sangat umum pada manusia adalah kanker). Tidak diragukan lagi
bahwa suatu mekanisme destruktif tidak dapat menjadi “mekanisme evolusioner”. Dalam pada itu,
seleksi alam “tidak dapat melakukan apa pun bagi dirinya sendiri,” sebagaimana juga diakui oleh
Darwin. Fakta ini menunjukkan pada kita bahwa tidak ada “mekanisme evolusioner” di alam.
Karena mekanisme evolusioner itu tidak ada, maka juga tidak terjadi proses imajiner yang disebut
sebagai evolusi itu.
Catatan Fosil: Tidak Ada Bukti-bukti
tentang Bentuk-bentuk Antara
Bukti yang sangat jelas bahwa pernyataan sebagaimana yang disebutkan dalam teori evolusi
itu tidak pernah terjadi adalah berdasarkan catatan fosil.
Menurut teori evolusi, setiap spesies hidup muncul dari yang mendahuluinya. Suatu spesies
yang dahulu pernah ada, lambat laun berubah kepada bentuk lainnya dan semua spesies muncul
dengan cara seperti ini. Menurut teori ini, transformasi ini berjalan dengan pelan-pelan selama jutaan
tahun.
Seandainya hal ini benar, maka banyak sekali spesies antara yang ada dan hidup dalam
periode transformasi yang panjang.
Misalnya, binatang-binatang yang separuh berbentuk ikan dan separuhnya lagi berbentuk
reptil tentu pernah hidup pada masa lampau sehingga memiliki karakter reptil di samping juga
memiliki karakter ikan. Atau pernah ada burung-reptil, yang memiliki karakter burung di samping
karakter reptil. Karena semua ini berada dalam fase transisi, makhluk-makhluk hidup tersebut tentu
akan lumpuh, cacat, atau pincang. Para ahli evolusi menyebut makhluk-makhluk imajiner ini, yang
mereka yakini pernah hidup pada masa lampau, sebagai “bentuk-bentuk transisi”.
Jika binatang seperti itu benar-benar ada, tentunya terdapat jutaan, bahkan milyaran
jumlahnya dan variasinya. Dan yang lebih penting, sisa-sisa dari makhluk-makhluk aneh seperti itu
tentu ada dalam jejak fosil. Dalam The Origin of Species, Darwin menjelaskan:
Jika teori saya benar, maka tentu terdapat sangat banyak varietas perantara yang saling
menghubungkan antara spesies-spesies dari kelompok yang sama. …Dengan demikian, bukti
tentang keberadaannya pada masa lalu hanya dapat ditemukan di antara peninggalan-peninggalan
fosil.11
Harapan Darwin yang Kandas
Bagaimanapun, sekalipun ahli-ahli evolusi telah bekerja keras untuk menemukan fosil sejak
pertengahan abad ke-19 di seluruh dunia, tidak ada bentuk-bentuk transisi yang mereka temukan.
Semua fosil yang digali menunjukkan, berlawanan dengan harapan ahli-ahli evolusi, kehidupan
muncul di muka bumi secara tiba-tiba dan telah berbentuk sempurna.
Seorang ahli paleontologi ternama dari Inggris, Derek V. Ager, mengakui fakta ini, sekalipun
ia seorang penganut evolusi:
Persoalan pun menjadi jelas ketika saya meneliti bukti-bukti fosil secara detail, entah itu
pada tingkatan ordo atau spesies, berulang kali kami menemukan bahwa bukannya evolusi yang
terjadi secara lambat laun, tetapi yang terjadi adalah satu kelompok muncul secara tiba-tiba,
demikian pula kelompok lainnya.12
Ini artinya bahwa bukti fosil menunjukkan bahwa semua spesies hidup tiba-tiba muncul dalam
bentuk yang telah sempurna, tanpa melalui bentuk perantara. Hal ini berlawanan dengan asumsi
Darwin. Demikian pula, terdapat bukti yang sangat kuat bahwa makhluk hidup itu ada karena
diciptakan. Satu-satunya penjelasan yang dapat diberikan adalah bahwa spesies hidup itu muncul
dengan tiba-tiba dan telah sempurna setiap detail tanpa melalui nenek moyang yang berevolusi,
dengan demikian spesies tersebut adalah diciptakan. Fakta ini juga diakui oleh sebagian besar ahli
biologi evolusi, Douglas Futuyma:
Penciptaan dan evolusi, di antara keduanya memerlukan penjelasan tentang asal-usulnya
dari benda-benda hidup. Organisme muncul di bumi dalam keadaan telah berkembang secara
sempurna atau tidak berkembang. Jika organisme tidak berkembang, organisme itu pasti telah
berkembang dari spesies yang pernah ada melalui proses-proses modifikasi. Jika organisme itu
muncul dalam keadaan yang telah berkembang secara sempurna, organisme tersebut tentu telah
diciptakan oleh sesuatu yang luar biasa cerdasnya.13
Berbagai fosil menunjukkan bahwa makhluk hidup muncul dalam keadaan yang sempurna di
bumi. Ini artinya bahwa “asal-usus spesies”, bertentangan dengan asumsi Darwin, bukan merupakan
evolusi tetapi merupakan penciptaan.
Dongeng tentang Evolusi Manusia
Persoalan yang seringkali dikemukakan oleh para pendukung teori evolusi adalah persoalan
tentang asal-usul manusia. Para pengikut Darwin menyatakan pendiriannya bahwa manusia modern
dewasa ini merupakan hasil evolusi dari makhluk yang menyerupai kera. Menurut mereka, selama
proses evolusi ini, yang diperkirakan telah dimulai 4-5 juta tahun yang lalu, konon terdapat beberapa
“bentuk transisi” antara manusia modern dengan nenekmoyang mereka. Dalam pernyataan yang
sepenuhnya bersifat khayalan ini, disebutkan tentang empat “kategori” dasar:
1. Australopithecus
2. Homo habilis
3. Homo erectus
4. Homo sapiens
Para ahli evolusi menyebut apa yang dinamakan sebagai nenek moyang manusia pertama
yang menyerupai monyet sebagai “Australopithecus” yang artinya “Monyet Afrika Selatan”.
Makhluk hidup ini sesungguhnya tidak lain adalah spesies monyet kuno yang telah punah. Riset
yang mendalam yang dilakukan pada berbagai sampel Australopithecus oleh dua orang ahli anatomi
ternama dunia dari Inggris dan Amerika Serikat, yakni Lord Solly Zuckerman dan Prof. Charles
Oxnard, telah menunjukkan bahwa Australopithecus tersebut merupakan spesies monyet biasa yang
telah punah dan terbukti tidak memiliki kemiripan dengan manusia.14
Para ahli evolusi mengklasifikasikan tahap selanjutnya dari evolusi manusia sebagai “homo”,
yakni “manusia”. Menurut pernyataan ahli evolusi, makhluk hidup pada sejumlah Homo lebih
berkembang dibandingkan Australopithecus. Para ahli evolusi telah mengembangkan skema evolusi
khayalan dengan menyusun berbagai fosil dari makhluk-makhluk ini dalam urutan tertentu. Skema
ini bersifat khayalan karena tidak pernah terbukti bahwa terdapat hubungan evolusioner antara
beberapa kelas ini. Ernst Mayr, salah seorang pembela teori evolusi yang terkemuka pada abad ke-
20 mengakui fakta ini dengan mengatakan bahwa “mata rantai yang sampai kepada Homo sapiens
sesungguhnya terputus”.15
Dengan membuat pembagian mata rantai seperti “Australopithecus — Homo habilis — Homo
erectus — Homo sapiens”, para ahli evolusi memaksudkan bahwa masing-masing spesies ini
merupakan nenek moyang bagi yang lain. Namun, penemuan terkini dari ahli paleoantrhropologi
telah mengungkapkan bahwa Australopithecus, Homo habilis dan Homo erectus hidup di bagian
yang berlainan di dunia pada saat yang sama.16
Di samping itu, segmen manusia tertentu yang diklasifikasikan sebagai Homo erectus telah
hidup hingga zaman modern. Homo sapiens neandarthalensis dan Homo sapiens sapiens (manusia
modern) hidup bersama-sama di kawasan yang sama.17
Situasi ini seolah-olah menunjukkan keabsahan klaim tersebut yang menyatakan bahwa
mereka adalah nenek moyang bagi lainnya. Seorang ahli paleontologi dari Universitas Harvard,
Stephen Jay Gould, menjelaskan kebuntuan teori evolusi meskipun ia sendiri seorang penganut
evolusi:
Apa yang menjadi tangga bagi kita jika ada tiga garis silsilah hominid (A. africanus,
australopithecines yang tegap, dan H. habilis), tak satu pun yang jelas-jelas berasal dari yang lain.
Lagi pula, tak satu pun dari ketiganya yang menunjukkan kecenderungan berevolusi selama mereka
mendiami bumi.18
Pendek kata, pandangan tentang evolusi manusia, yang berusaha mencari dukungan dengan
bantuan berbagai gambaran makhluk “separuh manusia, separuh kera” yang muncul di media dan
buku pelajaran, dan dengan bantuan propaganda, terus terang saja hanyalah dongeng yang tidak
memiliki landasan ilmiah.
Lord Solly Zuckerman, salah seorang ilmuwan yang terkenal dan dihormati di Inggris, yang
melakukan riset tentang persoalan ini selama beberapa tahun, dan secara khusus meneliti fosil-fosil
Australopithecus selama 15 tahun, pada akhirnya berkesimpulan bahwa meskipun ia sendiri seorang
penganut evolusi, namun sesungguhnya tidak ada tiga cabang famili seperti itu antara makhluk yang
menyerupai kera dengan manusia.
Zuckerman juga membuat sebuah “spektrum ilmu pengetahuan” yang menarik. Ia membentuk
sebuah spektrum ilmu pengetahuan dari pernyataan yang dianggap ilmiah hingga pernyataan yang
dianggap tidak ilmiah. Menurut spektrum Zuckerman, yang paling “ilmiah”, yakni yang tergantung
pada medan data kongkret dalam ilmu pengetahuan adalah kimia dan fisika. Setelah keduanya,
muncullah ilmu biologi, kemudian ilmu sosial. Pada akhir dari spektrum tersebut, sebagai bagian
yang dianggap paling “tidak ilmiah” adalah konsep “persepsi di luar panca indera” seperti telepati
dan indera keenam, dan akhirnya “evolusi manusia”. Zuckerman menjelaskan alasannya:
Kemudian kami segera beralih untuk mencatat kebenaran objektif dalam bidang-bidang yang
dianggap sebagai ilmu biologi, seperti persepsi di luar panca indera atau interpretasi tentang
sejarah fosil manusia, di mana bagi orang-orang yang mempercayainya (penganut evolusi) apa saja
mungkin — dan bagi orang yang sangat mempercayainya (dalam evolusi) kadang-kadang dapat
mempercayai beberapa hal yang bertentangan pada waktu yang bersamaan.19
Dongeng tentang evolusi manusia semakin tidak berarti, tetapi interpretasi tentang fosil-fosil
yang digali oleh orang-orang tertentu tetap dipercayai oleh orang-orang yang menganut teori ini
dengan membabi buta.
Teknologi Mata dan Telinga
Persoalan lainnya yang tetap tak terjawab oleh teori evolusi adalah kemampuan panca indera
yang luar biasa pada mata dan telinga.
Sebelum melanjutkan pembicaraan tentang mata, marilah kita jawab secara sepintas tentang
pertanyaan “bagaimanakah kita melihat”. Cahaya yang masuk dari sebuah benda jatuh secara
berlawanan pada retina mata. Di sini, cahaya ditransmisikan menjadi sinyal-sinyal elektris oleh sel,
dan cahaya tersebut sampai ke titik kecil di belakang otak yang disebut sebagai pusat penglihatan.
Sinyal-sinyal elektris ini di pusat otak terlihat sebagai bayangan setelah melewati serangkaian proses.
Dengan latar belakang teknis ini, marilah kita berpikir sejenak.
Otak terlindung dari cahaya. Ini artinya bahwa di bagian dalam otak sama sekali gelap, dan
cahaya tidak sampai ke lokasi otak. Tempat yang disebut sebagai pusat penglihatan benar-benar
gelap, dan cahaya tidak pernah mencapainya. Bahkan mungkin merupakan tempat yang paling gelap
yang pernah anda ketahui. Namun, anda melihat dunia yang cemerlang dan terang benderang dari
tempat yang sangat gelap.
Gambar yang terbentuk di mata sangat tajam dan sangat jelas, bahkan teknologi abad ke-20
tidak mampu menyamainya. Misalnya, perhatikanlah buku yang anda baca, tangan yang dengannya
anda memegang, kemudian angkatlah kepala anda dan lihatlah sekitar anda. Pernahkah anda melihat
bayangan yang sangat tajam dan sangat jelas seperti ini di tempat lain? Bahkan layar televisi yang
paling unggul yang diproduksi oleh pabrik televisi dunia yang paling canggih sekalipun tidak akan
mampu menyajikan gambar yang sangat tajam kepada anda. Gambar di mata ini berbentuk tiga
dimensi, berwarna, dan sangat tajam. Selama lebih dari seratus tahun, ribuan insinyur telah berusaha
untuk menghasilkan ketajaman ini. Pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan raksasa pun didirikan,
berbagai riset dilakukan, berbagai rencana dan desain dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Sekali
lagi, lihatlah ke layar TV dan buku yang anda pegang. Anda akan melihat bahwa terdapat perbedaan
besar dalam ketajaman dan kejelasan. Di samping itu, layar TV menunjukkan gambar dua dimensi,
sedangkan dengan mata anda, anda melihat gambar tiga dimensi yang memiliki ketajaman.
Selama beberapa tahun, sepuluh dari seribu insinyur telah berusaha untuk membuat TV tiga
dimensi yang dapat menyamai kualitas pandangan seperti mata. Ya, mereka telah membuat sistem
televisi tiga dimensi, tetapi mustahil untuk melihatnya tanpa mengenakan kaca mata, lagi pula,
gambar itu merupakan gambar tiga dimensi yang artifisial. Latar belakang tampak kabur, latar depan
tampak seperti setting kertas. Sampai kapan pun mustahil untuk menghasilkan pandangan yang
tajam dan jelas seperti pandangan pada mata. Baik kamera maupun televisi tidak memiliki kualitas
gambar yang tajam dan jelas.
Para ahli evolusi menyatakan bahwa mekanisme yang menghasilkan gambar yang tajam dan
jelas ini terjadi secara kebetulan. Sekarang, jika seseorang mengatakan kepada anda bahwa televisi
yang ada di kamar anda terjadi secara kebetulan, semua atomnya datang secara kebetulan lalu
membentuk peralatan yang dapat menghasilkan gambar, maka bagaimanakah pendapat anda?
Bagaimana mungkin atom-atom dapat melakukan hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh ribuan
orang?
Jika suatu peralatan yang menghasilkan gambar yang lebih primitif daripada mata tidak dapat
terjadi secara kebetulan, maka jelaslah bahwa mata dan gambar yang terlihat oleh mata tidak dapat
terjadi secara kebetulan. Keadaan yang sama juga berlaku pada telinga. Telinga bagian luar
menangkap suara yang ada melalui daun telinga lalu megarahkan suara itu ke bagian tengah telinga,
dan bagian tengah telinga mengirimkan getaran suara ke otak dengan mengubah suara itu menjadi
sinyal-sinyal elektrik. Sebagaimana mata, proses mendengar berakhir di pusat pendengaran di otak.
Situasi pada mata juga berlaku pada telinga. Yakni, otak terlindung dari suara sebagaimana ia
terlindung dari cahaya: ia tidak membiarkan suara apa pun memasukinya. Dengan demikian,
betapapun berisiknya suara di luar, bagian dalam otak sepenuhnya sunyi senyap. Namun demikian,
otak dapat menangkap suara dengan sangat jelas. Di otak anda, yang terlindung dari suara, anda
mendengar simponi dari sebuah orkestra, dan anda mendengar semua bunyi di keramaian. Namun
demikian, jika tingkat suara di otak anda diukur dengan peralatan yang akurat pada saat itu, maka
akan diketahui bahwa yang terjadi dalam otak adalah kesunyian.
Sebagaimana pada kasus alat perekam gambar, selama puluhan tahun telah dilakukan usaha
untuk menghasilkan suara sebagaimana dalam bentuk aslinya. Hasil dari usaha tersebut adalah
perekam suara “high fidelity system”, dan sistem untuk merekam suara. Meskipun teknologi ini
telah digali dan ribuan insinyur dan ahli telah bekerja keras, tetapi tidak ada suara yang diperoleh,
yang memiliki ketajaman dan kejelasan seperti suara yang ditangkap oleh telinga. Perhatikanlah HIFI
sistem dengan kualitas sangat tinggi yang dihasilkan oleh perusahaan terbesar dalam industri
musik. Bahkan dalam peralatan ini, ketika suara direkam, sebagian suara ada yang hilang; atau
ketika anda menghidupkan HI-FI, anda selalu mendengar suara yang mendesis sebelum musik
dimulai. Namun, suara-suara yang merupakan produk dari teknologi tubuh manusia sangat tajam dan
jelas. Telinga manusia tidak pernah menangkap suara yang disertai dengan bunyi mendesis
sebagaimana pada HI-FI; telinga menangkap suara seperti apa adanya, tajam dan jelas. Keadaan ini
berlaku semenjak manusia pertama kali diciptakan.
Sejauh ini, tidak ada peralatan visual atau perekam suara yang dihasilkan oleh manusia yang
sangat peka dan berhasil menangkap data indera sebagaimana mata dan telinga.
Namun, sepanjang yang berkaitan dengan penglihatan dan pendengaran, terdapat fakta yang
lebih besar di balik semua itu.
Siapakah yang Memberi Kemampuan
Otak untuk Melihat dan Mendengar?
Siapakah yang memberi kemampuan pada otak sehingga ia dapat melihat gemerlapnya dunia,
mendengar simponi kicau burung, dan mencium bunga mawar?
Rangsang yang datang dari mata, telinga, dan hidung manusia diteruskan ke otak sebagai
impuls syaraf elektro-kimia. Dalam buku-buku biologi, fisiologi, dan biokimia, anda dapat
menemukan penjelasan bagaimanakah gambar tersebut terbentuk di otak. Namun, anda tidak akan
pernah menemukan fakta yang paling penting tentang persoalan ini: Siapakah yang mengatur
terjadinya impuls syaraf elektro-kimia tersebut sebagai gambar, suara, bau, dan penginderaan di
otak? Terdapat suatu kesadaran di otak yang mampu menangkap semuanya tanpa harus memerlukan
mata, telinga, dan hidung. Siapakah yang memberi kemampuan ini? Tidak diragukan lagi bahwa
kemampuan ini tidak dimiliki oleh syaraf, lapisan lemak, dan syaraf-syaraf yang terdapat di otak.
Itulah sebabnya pengikut Darwin dan kaum materialis tidak mempercayai bahwa segala sesuatu
terdiri dari materi, tidak dapat memberikan jawaban apa pun terhadap pertanyaan ini.
Kemampuan ini adalah ruhani yang diciptakan oleh Allah. Ruhani tidak memerlukan mata
untuk melihat gambar, atau telinga untuk mendengar suara. Di samping itu, ia juga tidak
memerlukan otak untuk berpikir.
Setiap orang yang membaca fakta yang jelas dan ilmiah ini harus berfikir tentang Tuhan Yang
Mahakuasa, takut kepada-Nya, dan berlindung kepada-Nya, Dialah Yang menguasai seluruh alam
semesta dan sebuah bidang yang gelap yang luasnya beberapa sentimeter kubik dalam bentuk tiga
dimensi, berwarna, teduh, dan terang benderang.
Keyakinan Kaum Materialis
Informasi yang kami ketengahkan hingga kini menunjukkan kepada kita bahwa teori evolusi
adalah pernyataan yang sangat berbeda dengan temuan ilmiah. Pernyataan yang diberikan oleh teori
tersebut tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, dan mekanisme evolusioner yang diajukannya tidak
memiliki pengaruh evolusioner, dan fosil-fosil yang ditunjukkan tentang bentuk-bentuk transisi
untuk mendukung teori tersebut tidak pernah ada. Dengan demikian, tentu saja teori evolusi harus
dienyahkan karena ia adalah gagasan yang tidak ilmiah, sebagaimana gagasan yang menyatakan
bahwa alam semesta ini berpusat pada bumi telah dienyahkan dari agenda ilmu pengetahuan di
sepanjang sejarah.
Namun, teori evolusi tetap dimasukkan dalam agenda ilmu pengetahuan. Bahkan sebagian
orang berusaha untuk mengajukan kritik terhadap orang-orang yang membantah teori tersebut
sebagai “serangan terhadap ilmu pengetahuan”. Mengapa?
Alasannya adalah, bahwa teori evolusi merupakan keyakinan dogmatis yang tidak boleh
dibantah bagi beberapa kalangan. Kalangan ini dengan membabi buta mengabdi kepada filsafat
materialis dan menerapkan Darwinisme, karena ia merupakan satu-satunya penjelasan ilmiah yang
dapat dikemukakan tentang bekerjanya alam.
Yang cukup menarik, kadang-kadang mereka juga mengakui fakta ini. Seorang ahli genetik
dan seorang penganut evolusi yang jujur, Richard C. Lewontin dari Universitas Harvard mengakui
bahwa dialah yang “mula-mula dan terutama sebagai seorang materialis, kemudian menjadi seorang
limuwan”:
Bagaimanapun, bukannya metode dan institusi ilmu pengetahuan yang memaksa kita untuk
menerima penjelasan material tentang dunia fenomenal, tetapi sebaliknya, kita dipaksa oleh
kesetiaan kita yang a priori terhadap penyebab material untuk menciptakan peralatan penelitian
dan seperangkat konsep yang menghasilkan penjelasan material, meskipun ia bertentangan dengan
intuisi, dan meskipun ia menyesatkan bagi orang-orang awam. Di samping itu, bahwa materialisme
itu absolut sehingga kami tidak dapat membiarkan Kaki Tuhan memasuki pintu.20
Itulah pernyataan terus terang yang menyatakan bahwa Darwinisme adalah sebuah dogma
yang tetap dipertahankan demi kesetiaannya kepada filsafat materialis. Dogma ini berpendirian
bahwa tidak ada being (yang ada) kecuali materi. Dengan demikian ia berpendapat bahwa pencipta
kehidupan adalah materi tak bernyawa dan tidak memiliki kesadaran. Ia berpendapat bahwa jutaan
spesies hidup yang berbeda-beda; misalnya burung, ikan, jerapah, harimau, serangga, pohon, bunga,
ikan paus, dan manusia itu terwujud sebagai hasil dari interaksi antara materi seperti hujan yang
turun, kilat yang menyambar, dan sebagainya, dari materi tak bernyawa. Pandangan ini bertentangan
dengan akal maupun ilmu pengetahuan. Namun, Darwinisme tetap mempertahankannya hanya agar
“jangan sampai Kaki Tuhan masuk di pintu”.
Siapa pun yang tidak memperhatikan asal-usul makhluk hidup dengan pandangan materialis
akan melihat kebenaran yang nyata ini: Semua makhluk hidup adalah karya dari Sang Pencipta,
Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana, dan Maha Mengetahui. Sang Pencipta ini adalah Allah, Yang
menciptakan seluruh alam semesta dan semua makhluk dari tidak ada, dan merancangnya dalam
bentuk yang sangat sempurna.
“Mereka berkata, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”(Q.s. al-Baqarah: 32).
Allah menjelaskan berbagai rahasia kepada manusia melalui al-Qur’an, doa, perintah,
larangan, dan akhlak yang mulia. Semua ini merupakan rahasia yang sangat penting, dan orang yang
berpikir dapat menyaksikan rahasia-rahasia ini dalam hidupnya. Tidak ada sumber lain kecuali al-
Qur’an yang menjelaskan rahasia ini. al-Qur’an merupakan satu-satunya sumber rahasia sehingga
orang-orang yang sangat cerdas dan sangat pandai sekalipun tidak akan menemukan rahasia ini di
mana pun juga.
Jika sebagian orang dapat memahami sedangkan orang lain tidak dapat memahami pesanpesan
yang tersembunyi dalam al-Qur’an, ini merupakan rahasia lain yang diciptakan Allah. Orangorang
yang tidak memahami rahasia-rahasia yang diungkapkan dalam al-Qur’an ini hidup dalam
penderitaan dan kesulitan. Anehnya, mereka tidak pernah mengetahui penyebab penderitaannya.
Dalam pada itu, orang-orang yang mengkaji rahasia-rahasia dalam al-Qur’an menjalani hidupnya
dengan mudah dan gembira.
Buku ini membicarakan tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ayat-ayat yang
diungkapkan oleh Allah kepada manusia sebagai sebuah rahasia. Manakala orang membaca ayatayat
ini, dan perhatiannya didtumpukan kepada rahasia-rahasia dalam ayat-ayat ini, apa yang harus
ia lakukan adalah berusaha mengetahui tujuan Allah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa
kemudian mengkaji segala sesuatunya berdasarkan al-Qur’an. Kemudian, orang pun akan menyadari
dengan kegembiraan tentang rahasia-rahasia ini, bahwa al-Qur’an mengendalikan kehidupannya dan
kehidupan orang lain.