Rabu, 28 September 2011

Masa Pertumbuhan Dan Perkembangan Pendidikan Islam

Pada masa pembinaannya yang berlangsung pada zaman nabi Muhamad SAW, pendidikan islam berarti memasukkan ajaran-ajaran islam kedalam unsur-unsur budaya. Ada beberapa hal yang terjadi dalam pembinaan tersebut :
1. islam mendatangkana unsur-unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada. Misalkan Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi muhamad, pada masa sebelum al-qur’an diturunkan bangsa Arab memiliki tingkat seni sastra yang tinggi berupa syair, sehingga membuat orang-orang arab merasa bangga membaca syair yang mereka buat. Setelah diturunkan Al-Qur’an yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi, bangsa arab merasa bahwa pengetahuan sastra mereka telah diperkaya dan disempurnakan.
2. islam mendatangkan suatu ajaran yang bersifat meluruskan kembali ajaran-ajaran yang telah menyimpang dari ajaran aslinya. Hal ini dimisalkan dengan ajaran tauhid. Bangsa arab sebelum islam datan mereka hanya menyembah berhala untuk menyembah tuhan mereka, sehingga mereka hanya mengadakan hubungan kepada berhala itu dalam kehidupan sehari-hari mereka. Namun setelah islam datang, islam mengajarkan umat manusia menyembah kepada Allah dan melakukan hubungan dengan Allah dalam kehidupan sehari-hari.
3. islam memiliki ajaran yang sifatnya bertentangan dengan budaya yang ada sebelumnya. Dalam hal ini rasulullah sangat berhati-hati dalam mengubah kebuadayaan bangsa Arab yang sebelumnya banyak perbudakan, perjudian pemabukan menjadi budaya yang bersih dari hal-hal tersebut.
4. islam tidak merubah kebudayaan yang tidak bertentangan dengan ajaran islam yang telah ada sebelum kedatangan islam, namun tetap mengedepankan pengarahan-pengarahan seperlunya.
5. islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada sebelumnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan perkembangan budayanya.

Dengan demikian, terbentuklah suatu tatanan nilai dan budaya islami yang sempurna dalam ruang lingkup yang sepadan baik dari segi situasi, waktu dan perkembangan zaman. Tatanan inilah yang diwariskan pada generasi yang berikutnya untuk dikembangkan baik secara kualitatif, yaitu meningkatkan nilai budaya yang telah ada sbelumunya maupun kuantitatif, yaitu mengarahkan pada pembentukan budaya dan ajaran yang baru untuk menambah kesempurnaan dan kesejahteraan hidup masyarakat.
Pendidikan islamp ada masa pertumbuhan,pada masa perkembangannya, juga pada masa-masa yang berikutnya, memiliki dua sasaran, yaitu :
1. kepada pemuda, yaitu pewarisan ajaran islam kepada generasi muda (sebagai generasi penerus) kebudayaan islam dengan pendidikan islam.
2. kepada masyarakat lain yang belum menerima ajaran islam, artinya penyampaian ajaran islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat yang belum dan baru menerima ajaran islam yang lazim disebut dengan dakwah islam. Tujuan dari dakwah ini tak lain adalah agar mereka menerima ajaran islam sebagai suatu sistem kehidupan.

Terdapat suatu peristiwa penting dalam sejarah pendidikan islam dimasa setelah nabi muhamad SAW wafat, yaitu peristiwa pemberontakan dari orang-orang murtad yang enggan membayar zakat. Serta timbulnya nabi-nabi palsu pada masa pemerintahan Abu Bakar.
Untuk mengatasi pemberontakan yang datang dari orang-orang yang baru masuk islam dan belum memiliki keimanan yang kuat tersebut, maka Abu Bakar mengirim pasukan yang terdiri dari para sahabat. Namun mereka tetap membangkang dan menimbulkan peperangan sehingga para sahabat yang hafal Al-Qur’an menjadi mati syahid. Hal ini segera disadari oleh Umar bin Khottob, sehingga Umar dan para sahabat bermusyawarah dibawah pimpinan Abubakar untuk menjaga keutuhan Al-qur’an. Hal ini dilakukan dengan cara penulisan kembali alqur’an yang pada masa raslullah belum tersusun dengan sempurna kedalam satu mushaf yang utuh dan sempurna sesuai yang dihafal oleh para sahabat. Sehingga pada akhirnya Abubakar mengirimkan para sahabatnya kebeberapa daerah untuk memasukkan ajaran Al-Qur’an kedalam unsur-unsur budaya mereka, sehingga terbentuklah pusat pengajaran pendidikan islam.
1. Pusat-pusat Pendidikan Islam
Seiring dengan perkembangan penyampaian ajaran islam diluar madinah, maka dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai oleh islam, berdirilah pusat-pusat pendidikan yang dikuasai oleh para sahabat yang kemudian dikembangkan oleh para penerus sahabat yang berupa tabi’in dan selanjutnya.
Mahmud Yunus dalam bukunya menerangkan bahwa, pusat pendidikan tersebut tersebar pada wilayah-wilayah berikut :
1. di Kota Mekah dan Madinah (Hijaz)
2. di Kota Basrah dan kufah (Irak)
3. di Kota Damsik dan Palestina (Syam)
4. di Kota Fistat (Mesir).

Dalam pusat-pusat pendidikan tersebutlah para sahabat memberikan pelajaran tentang pengajaran agama islam pada para penduduk setempat maupun para penduduk yang datang dari daerah lain. Para sahabat menyampaikan pendidikan islam dalam bentuk kholaqoh di masjid atau tempat pertemuan lainnya yang berupa khuttab ataupun madrasah.
Pada masa pertumbuhan islam, terdapat beberapa madrasah yang terkenal, antara lain :
a. Madrasah Makkah
Puru pertama yang mengajar di madrasah ini adalah Mu’ad bin Jabal yang mengajarkan Al-Qur’an, hukum halal dan haram dalam islam.
Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan (65 – 86 H), Abdullah bin Abbas turut mengajar ilmu tafsir, hadits, fiqih, dan sastra. Sehingga Abdullah bin Abbas lah yang membangun madrasah ini menjadi termasyhur keseluruh negeri islam. Ketika Abdullah bin Abbas wafat, maka pengajaran dalam madrasah ini diteruskan oleh para muridnya, antara lain Mujahid bin Jabar seorang ahli tafsir alqur’an yang diriwayatkanya dari ibnu Abbas, Athak bin Abu Rabbah seorang ahli fiqih, dan Thawus bin Kaisan seorang fuqaha dan mufti di Makkah. Kemudian diteruskan kembali oleh Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid al Zanji.
b. Madrasah Madinah
Madrasah ini lebih termasyhur dari madrasah makkah, karena disini adalah tempat tinggalnya para sahabat rasulullah, termasuk Abu Bakar, Umar dan juga Usman. Diantara sahabat yang mengajar di sini adalah, Umar bin Khattab, Ali bin Abi thalib, Zaid bin Tsabit adalah sahabat yang mahir dalam bidang qiro’at dan fiqih, sehingga belaiaulah yang mendapatkan tugas untuk penulisan kembali Al-Qur’an, dan Abdullah bin Umar seorang ahli hadits yang selalu berfatwa dengan apa yang termaktub dalam hadits dan sebagai pelopor Madzab al Hadits yang berkembang pada generasi yang berikutnya. Setelah para guru yang dahulu meninggal maka pengajaran diteruskan oleh para tabi’in, antara lain Sa’ad bin Musyayab dan Urwah bin Alzubair.
c. Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah antara lain, Abu Musa Al Asy’ari yang terkenal sebagai ahli fiqih, hadits dan ilmu Al-Qur’an, dan Anas bin Malik yang termasykhur dalam ilmu hadits. Diantra guru yang mengajar di sini adalah Hasan Al-Basri seorang ahli fiqih, ahli pidato, dan kisah serta seorang yang ahli fikir dan tasawauf, dan juga Ibnu Sirin seorang ahli hadits dan ilmu fiqih.
d. Madrasah Kufah
ulma sahabat yang terkenal adalah Ali bin Abi Tahlib yang mengusrui msalah politik dan pemerintahan, dan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru agama yang diutus langsung oleh khalifah Umar, disamping itu beliau adalah seorang ahli fiqih, tafsir dan banyak meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW.
e. Madrasah Damsyik
setelah negeri Syam menjadi bagian dari negeri islam, maka khalifah Umar bin Khattab mengirimkan tiga guru agama yang ditempatkan pada tempat yang berbeda, antara lain Muadz bin Jabal di Palestina, Abu Dardak di Damsyik, dan Ubadah di Hims. Madrasah ini juga mampu melahirkan imam penduduk syam Abdurrahman Al-Auza’i yang ilmunya sederajat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f. Madrsah Fistat (Mesir)
Sahabat yang semula mendirikan madrasah ini adalah Abdullah bin Amr Al-As merupakan seorang yang ahli dalam ilmu hadits. Kemudian guru yang termasyhur setelah nya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bi Rabi’ah.
Pada masa pertumbuhan pendidikan islam ini terdapat empat orang Abdullah yang memiliki jasa yang sangat besar dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama yang tersebar di berbagai kota, antara lain :
1. Abdullah bin Umar di Madinah
2. Abdullah bin Masy’ud di Kuffah
3. Abdullah bin Abbas di Makkah
4. Abdullah bin Amr bin Al-Ash di Mesir

Namun para sahabat tersebut tidak menghafal semua perkataan nabi dan tidak lansung melihat tindakan nabi, sehingga ini memaksa para murid-muridnya untuk belajar ilmu tidak cukup hanya pada satu ulama. Sehingga mereka harus menjelajahi beberapa kota untuk melanjutkan pendidikannya.
2. Pengajaran Al-Qur’an

Intisari ajaran islam adalah apa saja yang termaktub dalam Al-Qur’an, sedangkan penjelasan dari apa yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah Hadits. Nabi Muhamada telah dengan sempurna memberikan penjelasan dari apa-apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Sehingga rasulullah dianggap telah sempurna dalam penyampaian Al-Qur’an dalam menyampaikan isi kandungan Al-Qur’an sesuai dengan masa itu, sekaligus beliau pula telah memberikan contoh yang sempurna tentang bagaimana cara mempraktekkan dan menjalankan ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Keadaan berubah ketika rasulullah meninggal dunia, bila dulu pengajaran Al-Qur’an bersumber langsung dari Rasulullah SAW maka sekarang bersumber dari para sahabat yang menyampaikan ajaran Al-Qur’an berdasarkan cara-cara yang digunakan oleh Rasulullah SAW, hal ini pun berlanjut pada generasi selanjutnya agar ajaran Al-Qur’an mampu diteruskan dan disampaikan pada orang yang baru masuk islam.
Problema pertama yang dialami para sahabat dalam menyampaikan ajaran Aal-Qur’an adalah menyangkut pada Al-Qur’an itu sendiri. Pada saat itu memang Al-Qur’an telah secara lengkap diturunkan dan ada dalam hafalan para sahabat, namun tidak semua sahabat hafal Al-Qur’an secara sempurna. Juga pada saat itu al-Qur’an belum tertulis pada mushaf yang sempurna, yakni Al-Qur’an hanya ditulis oleh para sahabat yang pandai menulis, sesuai yang diperintahkan oleh nabi Muhamad sewaktu masih hidup.
Sementara itu dengan meninggalnya para sahabat yang hafal Al-Qur’an, berarti akan makin berkuranglah nara sumber yang mampu menghafal Al-Qur’an dengan sempurna. Sehingga timbullah usaha-usaha untuk mengumpulkan Al-Qur’an.
Dalam usaha pengumpulan Al-Qur’an tersebut Abubakar sebagai kholifah memerintah kan Zaid bin Tsabit untuk menulis Al-Qur’an. Sehingga terkumpullah Al-Qur’an yang tertulis di atas daun lontar, batu, tanah keras, tulang unta, dan lain-lain. Dalam mengemban tugasnya ini tentu zaid melakukannya dengan sangat hati-hati dan teliti, walaupun ia sepenuhnya hafal setiap ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an. Dalam mengemban tugasnya Zaid dibantu oleh beberapa sahabat, yaitu Ubai bin Ka’ab, Ali bi Abi Thalib, dan Usman bin Afant.
Setelah terkumpul semua ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, kemudian disusunlah Al-Qur’an itu dalam tempat yang seragam, sesuai dengan susunan dan urutan yang ada dalam hafalan para sahabat. Dengan demikian sempurnalah Al-Qur’an dalam bentuk yang tertulis, dan dalam bentuk bacaan atau hafalan.
Problema yang kemudian muncul dalam pengajaran Al-Qur’an adalah masalah pembacaan atau qiroat. Bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab, sehingga orang yang tidak bisa berbahasa Arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang Arab. Sehingga dalam pengajaran Al-Qur’an diselingi dengan pengajaran bahasa Arab praktis.
Kemudian masalah qiroat ini semakin lama semakin jelas terdapat perbedaan pada cara setiap oarang dalam membacanya, karena setiap orang yang belajar Al-Qur’an pada para sahabat diajarkan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan logat mereka masing-masing. Namun perbedaan dalam penggunaan logat yang berbeda dalam membaca Al-Qur’an tidak menjadi masalah ketika masih berada pada lingkurang orang islam yang berbahasa Arab, namun ketika keluar pada kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab, maka timbul rasa ketidak fahaman dan perasaan asing akan bacaan Al-Qur’an tersebut. Sehingga pada akhirnya terjadilah pemikiran bahwa bacaannya adalah yang paling benar dan apakah bacaan yang lain itu salah. Hal ini mulai disadari pada masa pemerintahan Usman bin Afan.
Hal ini pertamakali disadari oleh Hudzaifah bin Yaman ketika ia sedang dalam pertempuran di Armenia dan Azerbeijan. Selama dalam perjalanannya ia mendengarkan pertikaian antar kaum muslim, sehingga ia segera ia mengusulkan pada Kholifah Usman untuk segera mengatasi pertikaian umat islam tersebut.
Usman bin Affan pun meminjam naskah atau lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis pada zaman pemerintahan Abu Bakar yang disimpan oleh Hafshah binti Umar untuk ditulis kembali ditulis kembali. Dalam penulisan ini Usmant kembali menunjuk Zaid bin Tsabit dan juga orang-orang yang terlibat dalam penulisan Al-Qur’an pada masa nabi Muhamad. Dalam penulisan kembali Al-Qur’an ini Usman memberikan beberapa nasehat pada panitia penulisan, yaitu :
1. mengambil pedoman pada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an
2. kalau ada pertikaian antara mereka tentang bacaan tersebut, maka haruslah dituliskan pada dialek Quraisy, sebab Al-Qur’an itu diturunkan sesuai dengan dialek mereka.

Al-qur’an yang telah dikumpulkan ini dinamakan Al-Mushaf, dan dibuat sebanyak lima buah mushaf. Kemudian dikirimkan oleh khalifah masing-masing ke Makkah, Syiria, Basrah, dan kuffah, serta yang satu tetap dipegang oleh khalifah di Makkah. Khalifah Usman berpeasan agar catatan yang sebelumnya di bakar dan supaya umat islam berpegang kepada mushaf yang lima baik dalam pembacaan maupun penyalinan yang berikutnya.
Dengan demikian manfaat pembukuan Al-Qur’an pada masa Usman adalah :
1. menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya
2. menyatukan bacaan, dan kendatipun masih terdapat perbedaannya, namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Utsman. Dan bacaan-bacaan yang tidak sesuai tidak diperbolehkan
3. menyatukan tartib susunan surat-surat, menurut tertib urut sebagai yang kelihatan pada mushaf-mushaf saat ini.

Untuk memudahkan pengajaran Al-Qur’an pada kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab, maka guru Al-Qur’an telah mengusahakan :
1. mengembangkan cara membaca Al-Qur’an dengan baik yang kemudian menimbulkan ilmu tajwid Al-Qur’an
2. meneliti cara pembacaan Al-Qur’an yang telah berkembang pada masa itu, mengenai mana yang sah dan mana yang tidak sah. Kemudian hal ini menimbulkan adanya ilmu qira’at yang kemudian timbul dengan apa yang dikenal dengan qira’at al sab’ah
3. memberikan tanda-tanda baca dalam tulisan mushaf, sehingga menjadi mudah dibaca dengan benar bagi mereka yang baru belajar membaca Al-Qur’an
4. memberikan penjelasan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diajarkan yang kemudian berkembang menjadi ilmu tafsir.

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Kebudayaan Islam

Pendidikan islam pada dasarnya adalah mewariskan nilai kebudayaan islam kepada generasi muda dan mengembangkannya sehingga mencapai dan memberikan manfaat maksimal bagi hidup dan kehidupan manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya. Jika perkembangan pendidikan islam pada masa rasulullah adalah merupakan masa penyemaian niali kebudayaan islam kedalam sistem kebudayaan bangsa Arab, maka pendidikan islam yang telah berkembang pada saat ini adalah merupakan pemupukan secara luas nilai dan kebudayaan islam agar tumbuh dengan subur dalam lingkukngan yang lebih luas.
Islam adalah agama fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasar manusiawi dengan landasan petunjuk Allah. Pendidikan islam berarti menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah tersebut, dan mewujudkannya dalam sistem budaya manusiawi yang islami. Sehingga wajar apabila islam menerima budaya yang sesuai ajaran islam dan menolak semua budaya yang menyimpang dari ajaran yang islami lalu menggantinya dengan ajaran yang baru yang bersifat islami.
Masalah yang pertama dialamu oleh para sahabat begitu rasulullah wafat ialah siapa dan bagaimana pengganti yang menggantikannya. Berbagai pandangan berkembang dikalangan sahabat tentang siapa yang berhak menggantikan rasulullah SAW sebagai pemegang kekuasaan tertiggi. Ali bin Abi Thalib pun merasa berhak menggantikan nabi karna faktor pewarisan, namun para sahabat sepakat menunjuk Abu Bakar sebagai kholifah pengganti rasulullah.
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut kekuasaan pada masa Ali, maka sistem politik mengalami perubahan dengan banyak dipengaruhi oleh keuasaan raj-raja Romawi. Dengan berkembangnya sistem politik ini, berkembang pulalah pola dan corak kehidupan masyarakatnya. Pola kehidupan yang lama ingin dipertahankan oleh masyarakat, sehingga menimbulkan banyak permasalahan yang membuat para sahabat terpaksa untuk membuat ketentuan hukum.
Sebenarnya rasulullah telah memberikan pedoman untuk menentukan memberikan keputusan hukum terhadap masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Yang terang kum dalam sebuah hadits yang meriwayatkan tentang percakan rasul dengan Muadz bin Jabal ketika ia diangkat sebagai hakim di kota Syam.
Petunjuk nabi Muhamad tersebut adalah dalam memberikan keputusan hukum tersebut adalah pertama-tama hendaknya dicari ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an, jika tidak ada hendaknya dicari dalam As-sunnah atau hadits, dan apa bila tetap tidak menemukan maka menggunakan fikiran yang berupa ijtihad untuk memberikan ketentuan hukum.
Dalam praktenya ternyata para sahabat tetap merasa kesulitan dalam menentukan hukum, disamping Al-Qur’an hanya menjelaskan ketentuan hukum secara umum, ternya para sahabat juga memiliki masalah dalam menentukan hadits yang sesuai, karena para sahabat tidak semuanya menghafal hadits. Suatu perkara tersebut menjadi sangat jelas ketika terdapat permasalah yang jauh dari para sahabat. Sehingga timbullah pertanyaan tentang bagaimana pengunaan ra’yu ijtihad.
Dalam berijtihad kemudian berkembang dua pola, yakni Ahl Al-Hadits dalam memberikan ketentuan hukum sangat bertegangan dengan hadits-hadits rasulullah, sehingga bagaimanapun mereka berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat yang lain. Sehingga terjadilah usaha pengumpulan hadits-hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Kemudian pola yang kedua adalah yang dikembangkan oleh Ahl Ar-ra’yu (ahli fikir). Mereka ini karena keterbatasan hadits yang mereka terima dan terdapatnya banyak hadits palsu, sehingga mereka hanya menerima hadits-hadits yang sokheh saja dan lebih banyak menggunakan ra’yu dalam berijtihad. Sehingga ra’yu mendorong terhadap penelitian tentang hadits, yang kemudian lahirlah ilmu hadits.
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari orang kristen yang ingin merusak ajaran islam, maka dalah islam berkembanglah ilmu teologi yang semula digunakan khusus untuk melawan pemikiran teologis dari orang kristen, yang dikenal dengan ilmu kalam. Kemudian ilmu kalam ini berkembang menjadi ilmu yang membahas tentang berbagai pola pemikiran yang berkembang dalam dunia islam.
Pada garis besarnya, pemikiran islam dalam pertumbuhannya muncul dalam tiga pola, yaitu :
1. Pola pemikiran yang bersifat skolastik, yang terikat pada dogma-dogma dan berfikir dalam rangka mencari pembenaran terhadap dogma-dogma agama. Pola pikir ini terikat pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits.menurut pola pemikiran ini, kebenaran hanyalah didapat dari wahyu sedangkan akal berfungsi sebagai alat penerimanya.
2. Pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal fikiran. Pola fikir ini menganggap bahwa akal fikiran sebagaimana juga halnya dengan wahyu, adalah merupakan sumber kebenaran. Akal digunakan sebagai alat untuk mencari kebenaran sedangkan wahyu hanya digunakan sebagai penunjang untuk mencari kebenaran.
3. Pola berfikir yang bersifat batiniyah dan intuitif yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis. Menurut pemikiran ini kebenaran yang tertinggi adalah diperoleh dari pengalaman-pengalaman batin dalam kehidupan yang mistis dan dengan jalan berkontemplasi. Dalam proses pemikiran ini, seorang yang ingin mendapatkan kebenaran harus melalui beberapa tahapan, yakni :
1. tahapan terbawah disebut syari’at
2. tahapan tharikhat
3. hakikat
4. dan tahapan yang tertinggi disebut dengan Ma’rifat. Pada golongan yang tertinggi ini seorang akan mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya yang pada mulanya dikembangkan oleh orang sufi.

dengan demikian jelaslah dengan semakin luasnya kekuasaan wilayah islam, maka akan semakin luas pula perkembangan kebudayaan dan pemikiran umat islam.















MASA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
MASA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

Pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran yaitu : generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran islam, untuk sasaran kedua yaitu, penyampaian ajaran islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang didalamislam lazim disebut sebagai da’wah islami. Sedangkan dalam arti yang pertamayaitu pewarisan ajaran islam kepada generasi penerus disebut sebagai pendidikan islam.
Dengan demikian terbentuklah satu setting nilai danbudaya islami yang lengkap dan sempurna dalam ruang lingkupnya yang sepadan, baik dari segi situasi dan kondisi maupun waktu dan perkembangan zamannya. Setting tersebutlah yang diwariskan kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.pengembangan secara kualitatif dalam arti bahwa nilai dan budaya yang ada ditingkatkan kualitasnya sehingga menjadi lebih baik dan lebih sempurna, sedangkah pengembangan secara kuantitatif mengarah kepada pembentukan ajaran dan budaya barru untuk menambah kesempurnaan dan kesejahteraan hidup manusia, sumber pengembangan tersebut tidak lain kecuali wahyu allah yang telah dengan sempurna disampaikan kepada manusia oleh nabi muhammad SAW yaitu al-qur’an dan Assunnah.
Berbarengan dengan pengembangan daerah kekuasaan islam pada masa-masa berikutnya, berkembang pula pusat-pusat kegiatan pendidikan islam, baik mereka yang baru masuk islam, bagi para generasi muda (anak-anak), maupun bagi mereka yang memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam islam
1. Pusat-pusat Pendidikan Islam
Mahmud yunus dalam bukunya sejarah pendidikan islam, menerangkan bahwa pusat-pusat pendidikan tersebut tersebar dikota-kota besar sebagai berikut :
1. dikota Makkah dan Madinah (Hijaz)
2. Dikota Basrah dan kuffah (Irak)
3. dikota Damsik dan falistina (syam)
4. Dikota fistat (mesir)
Dipusat- pusat pendidikan tersebut para sabahat memberikan pelajaran agama islam kepada muridnya, baik yang berasal dari penduduk setempat maupun yang datang dari daerah lain. Dipusat-pusat pendidikan islam tersebut timbullah madrasah-madrasah, yang masih merupakan sekedar tempat memberikan pelajaran dalam bentuk Khalaqah di mesjid atau tempat pertemuan lainya.
Selanjutnya dalam praktek dan pengajaran agama pada awal masa pertumbuhan ini, mahmud yunus menjelaskan :
Ulama-ulama tersebar keseluruh kota-kota kenegara islam yang terus bertambah luas. mereka itulah pendiri madrasah-madrasah pada tiap-tiap kota itu.
Sedangkan mereka itu mempunyai keahlian ilmiah yang berbeda-beda dan kepribadian yang berlainan. Yang sangat termansyur diantara mereka itu ialah
1. Abdullah bin Umar di Madinah
2. Abdullah bin Mas’ud di Kuffah
3. Abdullah bin Abbas di Mekkah
4. Abdullah bin Amr bin al-ash di Mesir.
Inilah empat orang Abdullah yang besar sekali jasanya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada murid-muridnya.
2. Pengajaran Al-qur’an
intisari ajaran islam adalah apa yang termasuk didalam al-qur’an. Sedangkah hadist ataupun sunnah Rasulullah yang merupakan penjelasan apa-apa yang dimaksudkan oleh al-qur’an. Nabi Muhammad Saw telah dengan sempurna menyampaikan al-qur’an kepada para sahabat dan telah sempurna pula memberikan penjelasan-penjelasan menurut keperluanya pada masa itu.
Sumber pengajaran Al-qur’an pada masa itu adalah para sahabat. Mereka pula yang bertanggung jawab untuk mengajarkan al-qur’an memberikan penjelasan dan pengertian yang terkandung oleh Al-qur’an agar dimengerti oleh orang-orang yang baru masuk islam.
3. Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan islam
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa akibat pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasi muda dan mengembangkanya
Kalau masa Nabi Muhmmad Saw dianggap sebagai masa penyamaian nilai kebudayaan islam kedalam system budaya bangsa arab pada masa itu, dengan meluasnya ajaran islam dipeluk oleh bangsa-bangsa diluar bangsa arab yang mempunyai system budaya yang berbeda-beda, maka pendidikan islam masa ini berarti penanaman secara luas nilai dan kebudayaan islam agar tumbuh dengan suburnya dalam lingkungan yang lebih luas.
Pada garis besarnya pemikiran islam dalam pertumbuhanya muncul dalam 3 pola yaitu
1. Pola pemikiran yang bersifat Scolastik, yang terikat pada dokma-dokma dan berpikir dalam rangka mencarai pembenaran terhadap dokma-dokma agama.
2. pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran.
3. pola pemikiran yang bersifat batiniah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufistis.
Sistem Pendidikan Islam pada masa kejayaan
a. Kurikulum
Menurut Ahmad Tafsir kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa lebih luas lagi Kurikulum bukan saja sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan.
Pada masa kejayaan islam mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah al-qur’an dan agama, membaca, menulis dan syair. Dalam berbagai kasus ditambahkan Nahwu cerita, dan berenang, dalam kasus-kasus lain dikhususkan untuk membaca al-qur’an dan mengajarkan sebagian prinsip-prinsip pokok agama. Sedangkah untuk anak-anak Amir dan penguasa kurikulum tingkat rendah cukup berbeda. Diistana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran Kittabah ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti al-qur’an syair dan fikkih.
Setelah usai menempuh pendidikan tingkat rendah siswa bebas memilih bidang studi yang ingin dia dalami ditingkat tinggi nanti. Jika ia ingin mendalami pikkih ia harus belajar fikih kepada para ulama fikkih yang ia kehendaki jika hendak mendalami hadist iaa mesti berguru kepada ulama-ulam hadist seperti kasus Imam Al-bukhari. Semula ia bermula belajar kepada muhammad Bin al-Hasan.tetapi setelah Muhammad Bin Al-hasan melihat bahwa ilmu hadis lebih sesuai bagi Al-bukhari, ia menyarankan agar al-bukhari belajar hadist. Contoh lain diriwayatkan bahwa Yunus bin Habib pernah belajar Ilmu ‘Arudh kepada al-khalil bin Ahmad, tetapi ia mengalami kesukaran terhadap ilmu tersebut. Maka ia tinggalkan pelajaran tersebut lalu ia berpindah mempelajari ilmu nahwu sehingga ia berhasil menjadi ahli terkemuka dalam bidang Nahwu.
B. Metode pengajaran.
Metode pengajaran yang dipakai pada masa dinasti Abbasiyah dapat dikelompokkan kedalam tiga macam yaitu Lisan, hafalan dan tulisan. Metode lisan bisa berupa dikte ceramah qira’ah dan diskusi. Dikte (imla) adalah metode untuk menyampaikan pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena pelajar mempunyai catatan. Jika daya ingat pelajar tidak kuat, catatan bisa membantunya. Metode ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku catatan seperti sekarang sulit sekali dimiliki. Metode ceramah disebut juga metode al samak, sebab dalam metode ceramah guru membaca bukunya atau menjelasakan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkanya. Pada saat tertentu guru berhenti dan memberi kesempatan kepada pelajar-pelajar untuk menulis dan bertanya metode kira’ah atau membaca biasanya digunakan untuk belajar membaca. Sedangkan diskusi merupakan metode yang khas dalam pendidikan islam dimasa ini. Ulama-ulama sering mengadakan majelis-majelis diskusi atau perdebatan. Metode ini banyak digunakan dalam pengajaran ilmu-ilmu yang bersifat filosofis dan fikkih, bahkan menurut ahmad Amin aliran Mu’tazilah menjadikan salah satu rukun islam. Dalam proses penyerapan ilmu, diskusi adalah metode yang lebih efektif dari pada metode-metode diatas. Diskusi dapat menjadikan murid aktif. Diskusi juga melatih murid menguraikan ilmu dan menggunakan daya berfikir secara aktif, sedangkan menulis membaca dan sebagainya lebih fasif.
c. Rihlah Ilmiyah
salah satu ciri yang paling menarik dimasa klasik yaitu sistem rihlah ilmiyah yaitu ilmiyah pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu.
Dengan demikian sistem rihlah ilmiyah dalam pendidikan islam dimasa klasik tidak hanya dibatasi dengan dinding kelas. Pendidikan islam memberi kebebasan kepada murid-murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki selain murid-murid guru-guru juga melakukan perjalanan dan pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk mengajar sekaligus belajar. Dengan demikian sistem rihlah ilmiyah disebut Learning Sociaty (masyarakat belajar).
d. Wakaf
menurut Syalabi bahwa Khalifah Al-Mah’mun adalah orang yang pertama kali mengemukakan pendapat tentang pembentukan badan waqaf. Ia berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan keilmuan tidak tergantung pada subsidi negara dan ketermawanan penguasa-penguasa tetapi juga membtuhkan kesadaran untuk bersama-sama negara menagung biaya pelaksanaan Pendidikan.
Peranan sangat waqaf sangat besar dalam menunjang pelaksanaan pendidikan. Dengan waqaf umat islam mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Karena waqaf pendidikan islam tidak terlalu menuntut biaya bagi pelajar-pelajar sehingga baik miskin atau kaya mendapat kesepakatan mendapat belajar yang sama, bahkan mereka khususnya yang miskin akan mendapat fasilitas-fasilitas yang luar biasa dan tiada putusnya.
Diposkan oleh MHR Agustia di 09:04:00