Senin, 14 Januari 2013

FAROID/ MAWARIS

ILMU MAWARITS
A. Pengertian Ilmu Mawarits
Istilah waris sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata mirats. Dalam bahasa Arab, kata ini berarti harta peninggalan orang yang meninggal dunia yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Ilmu yang berkaitan dengan masalah pewarisan disebut dengan ilmu mawarits yang lebih dikenali dengan istilah ilmu faraidh.
Islam sengaja mengatur pembagian harta pusaka (warisan) orang yang meninggal karena harta memainkan peranan yang besar di dalam kehidupan manusia dan menjamin keutuhan tatanan sosio- ekonomi sesebuah masyarakat. Harta pusaka menurut perspektif Islam meliputi semua harta. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya perselisihan di antara ahli waris, Islam telah menetapkan bagian masing- ¬masing pihak. Pada zaman Jahiliyyah, yakni sebelum datangnya ajaran Islam, kaum perempuan, baik isteri, ibu atau kerabat perempuan yang lain, tidak mendapatkan hak dalam pembagian harta pusaka. Harta warisan hanya dibagikan di kalangan kaum lelaki saja. Demikian juga halnya dengan anak- anak yang belum baligh, tidak mendapatkan hak dalam pembagian harta pusaka.
Alasan tidak diberinya kaum perempuan dan anak- anak dalam pembagian harta waris karena mereka tidak mampu untuk berperang dan tidak berupaya untuk melindungi kaum keluarga dari ancaman musuh. Ini disebabkan karena masyarakat Jahiliyah ketika itu hidup dengan sistem kesukuan dan sangat gemar melakukan peperangan. Lantaran sikap gemar berperang inilah masyarakat Arab Jahiliyah amat bergantung kepada kaum lelaki yang gagah perkasa untuk melindungi kaum keluarga dan sukunya.
Berdasarkan faktor- faktor tersebut, lahirlah satu sistem waris yang hanya mengutamakan kaum lelaki yang dianggap sebagai benteng suatu suku. Sementara kaum lemah seperti perempuan dan anak- anak tidak diberikan hak dalam pembagian harta pusaka, karena mereka dianggap tidak mampu untuk melindungi suku dan justru harus mendapatkan perlindungan.
Namun ketika Islam datang, fenomena ketidakadilan tersebut menjadi salah satu perhatian utama. Karena memang Islam bertujuan untuk menerangi seluruh kegelapan dan membawa manusia ke jalan yang lurus lagi benar. Akan tetapi, untuk menerapkan kesempurnaan yang dibawa memang bukanlah sesuatu yang mudah. Kerana masyarakat Arab ketika itu telah terbiasa dengan tata cara hukum waris dari nenek moyang mereka. Cara yang diambil Islam untuk mengganti hukum waris Jahiliyah adalah secara bertahap.
Langkah pertama, mereka dibiarkan dengan sistem waris Jahiliyah. Ketika Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, di sanalah baginda membina sebuah masyarakat yang berpegang teguh pada nilai- nilai agama dan akhlak. Rasulullah mempersaudarakan golongan Anshar dan Muhajirin dan menjadikan persaudaran mereka sebagai salah satu sebab- sebab pewarisan. Hukum waris yang ditetapkan ketika itu hanya tertumpu di kalangan orang- orang Islam Madinah. Sehingga kaum muslim yang tidak ikut hijrah (masih tinggal di Mekah) tidak dibolehkan mewarisi harta mereka yang berhijrah. Demikian hukum waris terus diberlakukan secara bertahap sampai akhimya menjadi aturan yang utuh. Dan yang perlu diketahui, sistem waris dalam Islam telah membawa beberapa pembaharuan di mana orang- orang perempuan dan anak- anak telah diberi hak dalam pembagian harta pusaka. Islam juga memberikan hak untuk mewarisi, baik dari keluarga lelaki maupun perempuan, dan memberikan harta pusaka kepada semua pihak dalam keluarga, baik tua atau muda, besar atau kecil, bahkan janin dan bayi dalam kandungan pun juga tidak luput dari hak waris yang diatur Islam.
B. Ahli Waris
Dalam ayat Al- Qur'an disebutkan beberapa penjelasan tentang pembagian jatah harta warisan bagi para ahli warits. Di antara ayat yang membicarakan hal tersebut adalah firman Allah swt dalam surat an-Nisa'berikut ini:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu- bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar- benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.(QS. An Nisa : 11 – 12)
Kedua ayat di atas menerangkan secara panjang lebar tentang bagian- bagian yang diberikan kepada ibu, bapak, serta isteri atau suami. Ayat 12 juga menerangkan bagian saudara kandung seibu, saudara lelaki atau perempuan. Walaupun kedua ayat tersebut sudah cukup jelas, namun ilmu faraidh juga bergantung pada penjelasan sunah Rasulullah saw. Berdasarkan Al-Qur'an, hadis serta pendapat sahabat maupun para ulama akhirnya dirumuskan pengetahuan tentang pembagian harta pusaka menurut Islam.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa pihak vang berhak mendapatkan harta pusaka:
1. Dari pihak lelaki
a. Anak lelaki
b. Cucu lelaki dari anak lelaki
c. Bapak
d. Kakek dari bapak sampai ke atas
e. Saudara sekandung
f. f Saudara seayah
g. Saudara seibu
h. Anak lelaki dari saudara sekandung
i. Anak lelaki dari saudara seayah
j. Paman yang sekandung dengan ayah si mati.
k. Paman yang seayah dengan ayah si mati.
l. Anak lelaki dari paman yang sekandung.
m. Anak lelaki dari paman yang seayah
n. Suami
2. Dari pihak perempuan
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan dari anak lelaki dan terus ke bawah
c. Ibu
d. Nenek dari bapak sampai ke atas
e. Nenek dari ibu sampai ke atas
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan sebapak
h. Saudara perempuan seibu
i. Isteri
Apabila semua unsur ahli waris di atas masih ada, maka yang berhak menerima harta pusaka hanya suami atau isteri, ibu, bapak, anak lelaki dan anak perempuan. Sementara yang lain tidak dapat mewarisi.
Berdasarkan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya ibu dan bapak mendapat 1/6 dari harta pusaka, isteri mendapat 1/4 jika suami yang wafat tidak meninggalkan anak dan 1/8 jika suami yang wafat meninggalkan anak. Begitu pula suami mendapat 1/2 jika isteri yang wafat tidak meninggalkan anak dan 1/4 jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Sisa dari harta pusaka yang ada untuk anak- anak, di mana anak lelaki mendapat dua kali bagian daripada anak perempuan. Tabel berikut memberikan penjelasan mengenai uraian yang baru saja disebutkan:
Dilihat dari segi pembagiannya, ada dua macam kelompok ahli waris, yakni dzawul furud dan ashabah. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing kelompok ahli waris tersebut:
1. Dzawul furud, yakni ahli waris yang jatah pembagiannya telah disebutkan dalam Al- Qur'an maupun hadis Rasulullah saw. Adapun jumlah pembagian yang disebutkan dalam kedua sumber ajaran Islam itu adalah 1/2 (setengah), 1/3 (sepertiga),.1/4 (seperempat), 1/6 (seperenam), 1/8 (seperdelapan), dan 2/3 (dua pertiga). Berikut ini adalah masing-masing personel yang mendapatkan jatah pembagian tersebut:
a. Ahli waris yang mendapatkan jatah 1/2 (setengah):
1). Anak perempuan tunggal
2). Cucu perempuan tunggal dari anak laki- laki
3). Saudara perempuan tunggal sekandung jika tidak ada anak
4). Saudara perempuan tunggal sebapak jika tidak ada anak
5). Suami jika tidak ada anak atau cucu
b. Ahli waris yang mendapatkan jatah 1/3 (sepertiga)
1). Ibu jika tidak ada anak atau cucu
2). Dua orang saudara perempuan atau lebih seibu jika tidak ada ayah dan anak
c. Ahli waris yang mendapatkan jatah 1/4 (seperempat)
1). Suami jika ada anak atau cucu.
2). Istri jika tidak ada anak cucu
3). Dua anak perempuan atau lebih jlka tidak ada anak lelaki
4). Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki- laki
5). Dua saudara perempuan atau lebih sekandung jika tidak ada anak dan saudara lelaki
6). Dua saudara perempuan atau lebih seayah jika tidak ada anak dan saudara lelaki
d. Ahli waris yang mendapatkan jatah 1/6 (seperenam)
1). Bapak jika ada anak atau cucu
2). Kakek jika ada anak atau cucu dengan syarat tidak ada bapak
3). Ibu jika ada anak atau cucu
4). Nenek jika ada anak atau cucu dengan syarat tidak ada ibu.
5). Cucu perempuan dari anak lelaki dan perempuan jika hanya seorang.
6). Saudara perempuan seibu jika tidak ada bapak atau anak
e. Ahli waris yang mendapatkan jatah 1/8 (seperdelapan)
1). Istri jika ada anak atau cucu
f. Ahli waris yang mendapatkan jatah 2/3
1). Dua anak perempuan atau lebih jika ada anak lelaki
2). Dua cucu perempuan atau lebih dari anak lelaki
3). Dua saudara perempuan atau lebih sekandung jika tidak ada anak dan saudara lelaki
4). Dua saudara perempuan atau lebih sebapak jika tidak ada anak dan saudara lelaki
2. Ashabah, yakni ahli waris yang mendapatkan seluruh sisa harta dan dapat memperoleh seluruh harta jika tidak ada ahli waris dzawul furud. Ahli waris ashabah sendiri dibagi menjadi tiga, yaitu;
a. Ashabah bi nafs, yaitu ahli waris yang menjadi ashabah karena dirinya sendiri tanpa dipengaruhi ahli waris yang lainnya. Mereka ini adalah:
1). Anak laki-laki
2). Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3). Bapak
4). Kakek
5). Saudara lelaki sekandung
6). Saudara lelaki sebapak
7). Anak lelaki dari saudara telaki sekandung
8). Anak lelaki dari saudara lelaki sebapak
9). Paman sekandung
10). Paman sebapak
11). Anak lelaki paman sekandung
12). Anak lelaki paman sebapak
13). Lelaki yang memerdekakan mayat apabila dulu statusnya sebagia budak
b. Ashabah bi Ghair, yakni ahli waris yang menjadi ashabah karena adanya ahli waris lainnya. Di antara golongan ini adalah:
1). Anak perempuan yang tertarik anak lelaki
2). Cucu perempuan dari anak lelaki yang tertarik cucu lelaki dari anak lelaki
3). Saudara perempuan sekandung yang tertarik saudara lelaki sekandung
4). Saudara perempuan sebapak yang tertarik saudara lelaki sebapak.
c. Ashabah Ma’al Ghair, yakni ahli waris yang menjadi ashabah bersama dengan ahh waris lainnya. Mereka ini adalah:
1). Saudara perempuan sekandung seorang atau lebih bersama dengan anak atau cucu perempuan dari anak lelaki, baik seorang atau lebih
2). Saudara perempuan sebapak seorang atau lebih bersama dengan anak atau cucu perempuan, baik seorang atau lebih.
Namun yang perlu diingat, sebelum harta pusaka dibagikan, hendaklah seluruh tanggungan sang mayit dipenuhi terlebih dahulu oleh ahli waris, misalnya hutang ataupun tanggungan yang lain. Barulah setelah membayar seluruh tanggungan sang mayit, harta pusaka boleh dibagikan kepada ahli waris
C. Ahli Waris Hajib dan Mahjub
Yang dimaksud dengan ahli waris hajib adalah ahli waris yang dapat menghalangi ahli waris lain untuk tidak mendapatkan harta pusaka, baik secara keseluruhan (hajib hirman) atau hanya sekedar mengurangi jatah pembagiannya (hajib nuqshan). Sementara yang dimaksud dengan ahli mahjub adalah orang yang terhalangi untuk mendapatkan keseluruhan harta atau terkurangi jatahnya karena adanya hajib. Contohnya, bapak bisa menjadi hajib bagi kakek atau anak bisa menjadi hajib bagi cucu. Sementara ahli waris yang tidak bisa terhalangi oleh siapapun adalah anak, suami, istri, bapak, dan ibu.
Berikut ini akan dipaparkan contoh perhitungan harta pusaka menurut ilmu fara'idh dalam beberapa kasus:
1. Kasus I
Seseorang wafat dengan meninggalkan seorang istri, seorang anak laki- laki, seorang anak perempuan, seorang ibu, seorang paman dan seorang nenek. Adapun harta warisan yang dia tinggalkan sebanyak Rp. 250.000.000. Bagaimanakah cara pembagian harta pusaka yang ditinggalkan sang mayit?
Jawab:
1/8 x 250.000.000 = 31.250.000
1/6 x 250.000.000 = 41.666.666 (dibulatkan menjadi 41.670.000)
Sisanya (ashabah): 250.000.000 – (31.250.000+ 41.670.000) = 177.080.000
Karena bagian anak laki- laki adalah 2 kali lipat dari anak perempuan, maka harta tersebut dibagi menjadi tiga, sehingga anak laki- laki mendapatkan 2/3 dan anak perempuan mendapatkan 1/3. Berikut ini adalah perhitungan harta ashabah:
1/3 x 177.080.000 = 59.026.666 (dibulatkan menjadi 59.030.000) 2/3 x 177.080.000 atau 177.080.000 – 59.030.000 (setelah pembulatan) = 118.050.000
Berikut ini adalah rekapitulasi hasil pembagian harta warisan:
2. Kasus II
Seseorang wafat dengan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, dan seorang bapak. Harta pusaka yang dia tinggalkan sebesar Rp. 50.000.000. Bagaimanakah cara pembagiannya menurut ilmu fara'idh?
Jawab:
1/4 x 50,000.000 = 12.500.000
1/6 x 50.000.000 = 8.333.333 (dibulatkan menjadi 8.340.000) - Sisanya (ashabah): 50.000.000 — (12.500.000 + [2 x 8.340.000]) = 20.820.000
Berikut ini adalah rekapitulasi hasil pembagian harta warisan:
D. Hubungan Ilmu Mawarits dengan Hukum Adat
Sebuah masyarakat biasanya ada yang memiliki hukum adat dalam memutuskan berbagai permasalahan yang terjadi di antara mereka, termasuk masalah pembagian harta pusaka. Islam termasuk agama yang menghargai hukum adat atau tradisi ('urj) selama tidak bertentangan dengan kaidah hukum Islam. Sementara hukum adat yang bertentangan dengan syari'at, maka harus dikesampingkan dan lebih mendahulukan aturan dalam Islam. Indonesia termasuk negara kepulauan yang memiliki banyak sekali suku bangsa. Suku- suku bangsa tersebut ada yang memiliki sistem pembagian harta pusaka. Di antara sistem tersebut ada yang sesuai dengan hukum Islam dan ada yang tidak. Adapun hukum adat dalam pembagian harta waris yang sesuai dengan Islam di antara yang berlaku di suku Jawa, di mana dikenal istilah sepikul segendongan, yang artinya dua bagian (sepikul) untuk laki- laki dan satu bagian (segendongan) untuk perempuan. Sementara hukum adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di antara yang berlaku di Minangkabau, di mana anak tidak menjadi ahli waris dari bapaknya. Begitu juga di Tapanuli, di mana anak tidak menjadi ahli waris dari ibunya dan di Sabu, di mana anak lelaki mendapatkan harta waris dari bapaknya dan anak perempuan mendapatkan waris dari ibunya.
E. Hikmah Hukum Mawarits
Dari ketentuan syariat tentang hukum waris, ada beberapa hikmah yang bisa diambil bagi kaum muslimin.
1. Menciptakan sikap tunduk dan patuh kepada ajaran Allah SWT dan Rasullullah SAW
2. Memperhatikan kesejahteraan ahli waris
3. Mendahulukan kepentingan mayit daripada yang masih hidup
4. Membentuk manusia untuk tidak rakus terhadap harta dan bisa bersikap adil
5. Mendidik manusia agar hidup hemat dan tidak menghambur- hamburkan amanah Allah SWT berupa harta benda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar